Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia halaman 511 dinyatakan bahwa karya adalah pekerjaan dan hasil perbuatan (buatan dan ciptaan). Hal ini sejalan dengan Kamus Dewan
yang menyebutkan bahwa karya adalah kerja dan buatan atau ciptaan (seni
dll). Karena itu saya berpandangan bahwa karya merupakan sebuah olah
pikir yang menghasilkan ciptaan dan bermanfaat bagi kemajuan peradaban.
Selanjutnya istilah Astronomi
Islam dalam literatur keislaman seringkali disebut dengan ilmu falak
yang sepadan dengan istilah astronomi. Pada awalnya falak dan astronomi
merupakan bidang kajian yang sama namun setelah terjadi dikhotomi
keilmuan objek material dan formal falak tidak sama dengan astronomi.
Kajian falak atau astronomi Islam lebih memfokuskan pada persoalan yang
berkaitan ibadah, seperti arah kiblat, awal waktu salat, awal bulan
kamariah, dan gerhana.
Para ahli membagi sejarah
perkembangan peradaban Islam ke dalam tiga periode, yaitu periode klasik
(650-1250), periode pertengahan (1250-1800), dan periode modern (1800
sampai sekarang). Periodesasi ini merupakan karakteristik bagi ilmu
sejarah yang mengkaji peristiwa dalam konteks tempat dan waktu dengan
tolak ukur yang beragam. Untuk melihat dinamika karya astronomi Islam di
era modern, saya menggunakan tipologi yang dikembangkan H.N. Shiddiqie
di atas.
Pada tahun 1378/1958 Paul
Kunitzsch melakukan penelitian manuskrip tentang karya-karya astronomi
Islam di Institute of Arabic Manuscripts Kairo. Kemudian pada tahun
1402-1407 H/1981-1986 M David S. King, pakar sejarah astronomi Islam
dari Institut fur Geschechte der Naturwessenschaften, Universitas
Frankfurt juga melakukan penelitian yang sama di Dar al-Kutub Kairo.
Selanjutnya pada tahun 1420 H/ 1999 M Isham Mohammad Shanti, pakar
filologi dari Ma'had al-Makhtutat al-'Arabiah Kairo juga melakukan
penelitian sekitar 300 manuskrip tentang ilmu astronomi Islam.
Penelitian-penelitian
tersebut hanya memfokuskan pada manuskrip karya para astronom di dunia
Islam pada periode klasik dan pertengahan. Sementara itu penelitian
terhadap karya astronomi Islam di era modern sampai kini belum ada yang
melakukan. Oleh karena itu pada tahun 1434/2013 saya berusaha
mengumpulkan dan melakukan kajian awal seputar karya-karya astronomi
Islam era modern. Hasil penelusuran tersebut terkumpul sekitar 725 karya
yang terdiri buku, proseding, artikel, dan kertas kerja.
Karya-karya tersebut terbit
mulai tahun 1905 sampai tahun 2013. Periode 1905-1950 hanya terdapat 20
karya, sedangkan periode 2005-2007 merupakan periode prolifik yang
menghasilkan 105 karya.
Selain buku-buku, artikel, dan
kertas kerja di atas ditemukan pula ratusan judul hasil penelitian yang
berkaitan arah kiblat, awal waktu salat, dan awal bulan kamariah.
Persoalan awal bulan kamariah merupakan isu yang sangat diminati oleh
para pengkaji. Hal ini sangat logis karena persoalan penentuan awal
bulan merupakan persoalan klasik tetapi selalu aktual dan memerlukan
penyelesaian secara komprehensif. Apalagi di saat ini ramai
diperbincangkan tentang unifikasi kalender Islam internasional.
Kajian selanjutnya yang
diminati adalah persoalan waktu salat, khususnya berkaitan dengan konsep
fajar. Berbagai kajian menyebutkan bahwa konsep fajar yang berkembang
selama ini di Malaysia dan Indonesia perlu diperbaiki bahkan dalam salah
satu tesis program doktor yang ditulis oleh Nabil Yusuf Hasanain, salah
seorang mahasiswa Fakultas Sains di Universitas Al-Azhar Kairo yang
berjudul Dirasah al-Syafaq Litahqiq Auqat al-Salah wa ru’yatul Hilal.
Di dalamnya disebutkan bahwa salat Subuh seharusnya pada saat matahari
berada dalam ketinggian rata-rata – 14,5 derajat. Sayangnya menjelang
tesis diujikan si peneliti meninggal dunia.
Karya lain yaitu di bidang
instrumen astronomi Islam adalah kehadiran berbagai software seperti
Winhisab oleh Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama Republik Indonesia,
Mawaqit oleh Khafidz dkk, MoonCalculator oleh Mounzur Ahmad, dan
Accurate Time karya Mohammad Odeh. Bahkan sekarang di Google Play
terdapat ratusan program seputar astronomi Islam. Begitu pula di Apple
Store juga ditemukan banyak sekali program terkait astronomi Islam.
Perlu diketahui juga baru-baru Dr. Kassim Bahali menghasilkan inovasi
karya instrumen astronomi Islam yang diberi nama “Qiblatain II”. Satu
alat untuk menentukan arah kiblat dengan laser. Karya ini memperoleh
Pingan Emas dalam Inovasi Islam 2015 yang diselenggarakan oleh
Universiti Sains Islam Malaysia (USIM) pada tanggal 23-25 Oktober 2015.
Kehadiran berbagai instrumen astronomi Islam ini sangat membantu dan
memudahkan bagi pengembangan studi astronomi Islam ke depan.
Selanjutnya sepengetahuan saya
dari berbagai pengkaji tesis yang berkembang di dunia Islam, Malaysia
dan Indonesia merupakan dua negara yang produktif menghasilkan tesis
seputar astronomi Islam. Kajian tesis di Indonesia lebih bersifat
teoritis- filosofis, sedangkan di Malaysia bersifat
teoritis-implementatif. Tema yang dikaji sangat aktual dan menarik.
Salah satu contohnya adalah hasil penelitian yang dilakukan Radzuan bin
Nordin yang menghubungkaitkan antara persoalan takwim hijri dan Zakat.
Selama ini masyarakat muslim Malaysia khususnya dan masyarakat muslim
pada umumnya tidak menyadari bahwa penggunaan takwim dalam zakat
memiliki konsekuensi yang luar biasa.
Bukti yang jelas ialah
pembayaran zakat perniagaan yang telah ditunaikan oleh Tenaga Nasional
Berhad (TNB) bagi tahun kewangan berakhir 2007/2008. Bagi tahun tersebut
bayaran zakat perniagaan adalah dikira berdasarkan keuntungan
perniagaan sebanyak RM 156.525.48 suatu taqwim yang digunakan ialah
takwim masihi. Sebetulnya jika menggunakan takwim masihi yang wajib
dibayar ialah RM 161.134.4647. Perbedaan bayar adalah RM 4.820.9847.
Aspek lain yang tak kalah
penting adalah kehadiran berbagai observatorium (Balai Cerap) di
berbagai negara Islam, seperti Observatorium Hilwan Mesir, King Abdul
Aziz City for Science and Technology (KACST) Saudi Arabia, Balai Cerap
Al-Khawarizmi Malaka-Malaysia, Balai Cerap Teluk Kemang Negeri Sembilan
Malaysia, Observatorium Bosscha Bandung-Indonesia, Observatorium
As-Salam Solo-Indonesia, dan Observatorium Ilmu Falak (OIF) Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara Medan. Selain itu ada beberapa Balai Cerap
milik pribadi seperti yang dikembangkan oleh Salih Muhammad Salih
Al-Ujairy salah seorang ahli astronomi Islam di Kuwait. Selanjutnya Dr.
Rowi merupakan tokoh awal yang mengembangkan Balai Cerap Pribadi di
kawasan ASEAN, yang kemudian diikuti Shahgazer oleh Shahrin Ahmad dan
Imah Noong oleh Hendro Setyanto.
Demikian poin-poin penting
berkaitan dengan karya-karya astronomi Islam di era modern. Agar
karya-karya tersebut dapat diakses lebih mudah maka perlu dibuat “Index
Islamic Astronomy” dalam bentuk digital. Begitu pula untuk mengenang dan
memahami jasa para tokoh astronomi Islam di Alam Melayu perlu
diwujudkan film dokumenter dengan tema “Jejak-jejak Ulama Falak di Alam
Melayu”. Wa Allahu A’lam
Bukit Angkasa, 3 Rabiul awal 1437/ 14 Desember 2015, pukul 03.00 WIB.
Prof. Dr. Susiknan Azhari
sumber http://uin-suka.ac.id/id/kolom/detail/39/karya-seputar-astronomi-islam-abad-modern